1. mencari kartu kredit yang masih valid, hal ini dilakukan dengan mencuri atau
kerjasama dengan orang-orang yang bekerja pada hotel atau toko-toko gede
(biasanya kartu kredit orang asing yang disikat). atau masuk ke program
MIRC (chatting) pada server dal net, kemudian ke channel #CC, #Carding,
#indocarder, #Yogyacarding,dll. nah didalamnya kita dapat melakukan trade
(istilah "tukar") antar kartu kredit (bila kita memiliki kartu kredit
juga, tapi jika tidak punya kartu kredit, maka dapat melakukan aktivitas
"ripper" dengan menipu salah seorang yang memiliki kartu kredit yang
masih valid).
2. setelah berhasil mendapatkan kartu kredit, maka carder dapat mencari
situs-situs yang menjual produk-produk tertentu (biasanya di cari pada search
engine). tentunya dengan mencoba terlebih dahulu (verify) kartu kredit tersebut
di site-site porno (hal ini disebabkan karena kartu kredit tersebut tidak hanya
dipakai oleh carder tersebut). jika di terima, maka kartu kredit tersebut dapat
di belanjakan ke toko-toko tersebut.
3. cara memasukan informasi kartu kredit pada merchant pembayaran toko adalah
dengan memasukan nama panggilan (nick name), atau nama palsu dari si carder,
dan alamat aslinya. atau dengan mengisi alamat asli dan nama asli si empunya
kartu kredit pada form billing dan alamat si carder pada shipping adress.
(mudahkan?.....)
1. asli didapatkan dari toko atau hotel (biasa disebut virgin CC)
2. hasil trade pada channel carding
3.hasil ekstrapolet (penggandaan, dengan menggunakan program C-master 4,
cardpro, cardwizard, dll), softwarenya dapat di Download disini: Cmaster4, dan
cchecker (jika ada yang ingin mengetahui CVV dari kartu tersebut)
4. hasil hack (biasa disebut dengan fresh cc), dengan menggunakan tekhnik jebol
ASP (dapat anda lihat pada menu "hacking")
Contoh kartu kredit:
First Name* opi
Last Name*sandi
Address* 1960/perum cimone
City* tangerang
State/Province* banten
Zip*980978
Phone* ( 021)9087-9087
E-mail* ganteng0879@ymail.com
Payment Method Visa
Card Number :90000087
Exp. Date 8/90
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan
atausubyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang
dimulaipada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya.
Pada negara yang telahmaju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk
memfasilitasi setiap aspek kehidupanmereka, perkembangan hukum dunia maya sudah
sangat maju. Sebagai kiblat dariperkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat
merupakan negara yang telah memilikibanyak perangkat hukum yang mengatur dan
menentukan perkembangan Cyber Law.Untuk dapat memahami sejauh mana perkembangan
Cyber Law di Indonesia maka kitaakan membahas secara ringkas tentang landasan
fundamental yang ada didalam aspekyuridis yang mengatur lalu lintas internet
sebagai sebuah rezim hukum khusus, dimanaterdapat komponen utama yang menliputi
persoalan yang ada dalam dunia maya tersebut,yaitu
Ø Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen
inimenganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku danditerapkan di
dalam dunia maya itu;
Ø Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana
untukmelakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggungjawab
pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawabdalam memberikan
jasa online dan penyedia jasa internet (internetprovider), serta tanggung jawab
hukum bagi penyedia jasa pendidikanmelalui jaringan internet;
Ø Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek
tentangpatent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam
dunia
cyber;
Ø Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan
hukumyang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak
yangmempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian darisistem atau
mekanisme jasa yang mereka lakukan;
Ø Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiappengguna
internet;
Ø Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspekkepemilikan
dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapatdihitung sesuai
dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi;
Ø Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas
internetsebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
Modus Kejahatan Kartu Kredit (Carding)
1. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari tamu hotel,
khususnya orang asing.
2. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting
di Internet.
3. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri
dengan menggunakan Jasa Internet.
4. Mengambil dan memanipulasi data di Internet
5. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan
maupun pada saat pengambilan barang di Jasa Pengiriman (kantor pos, UPS,
Fedex, HL, TNT, dlsb.).
Modus Operandi
Ada beberapa tahapan yang umumnya dilakukan para carder dalam melakukan aksi kejahatannya:
1. Mendapatkan nomor kartu kredit yang bisa dilakukan dengan
berbagai cara antara lain: phising (membuat situs palsu seperti dalam kasus
situs klik.bca), hacking, sniffing, keylogging, worm, chatting dengan merayu
dan tanpa sadar memberikan nomor kartu kredit secara sukarela, berbagi
informasi antara carder, mengunjungi situs yang memang spesial menyediakan
nomor-nomor kartu kredit buat carding dan lain-lain yang pada intinya adalah
untuk memperolah nomor kartu kredit.
2. Mengunjungi situs-situs online yang banyak tersedia di
internet seperti Ebay, Amazon untuk kemudian carder mencoba-coba nomor yang
dimilikinya untuk mengetahui apakah kartu tersebut masih valid atau limitnya
mencukupi.
3. Melakukan transaksi secara online untuk membeli barang
seolah-olah carder adalah pemilik asli dari kartu tersebut.
4. Menentukan alamat tujuan atau pengiriman, sebagaimana kita
ketahui bahwa Indonesia dengan tingkat penetrasi pengguna internet di bawah 10
%, namun menurut survei AC Nielsen tahun 2001 menduduki peringkat keenam dunia
dan keempat di Asia untuk sumber para pelaku kejahatan carding. Hingga akhirnya
Indonesia di-blacklist oleh banyak situs-situs online sebagai negara tujuan
pengiriman. Oleh karena itu, para carder asal Indonesia yang banyak tersebar di
Jogja, Bali, Bandung dan Jakarta umumnya menggunakan alamat di Singapura atau
Malaysia sebagai alamat antara dimana di negara tersebut mereka sudah mempunyai
rekanan.
5. Pengambilan barang oleh carder.
Saat ini di Indonesia belum memiliki UU khusus/Cyber Law yang mengatur mengenai
Cybercrime, walaupun UU tersebut sudah ada sejak tahun 2000 namun belum
disahkan oleh Pemerintah Dalam Upaya Menangani kasus-kasus yg terjadi khususnya
yang ada kaitannya dengan cyber crime. Dalam menangani kasus carding para
Penyidik (khususnya Polri) melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan
terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP Pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP
pada Cybercrime. Sebelum lahirnya UU No.11 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika (ITE), maka mau tidak mau Polri harus menggunakan pasal-pasal di
dalam KUHP seperti pasal pencurian, pemalsuan dan penggelapan untuk menjerat
para carder, dan ini jelas menimbulkan berbagai kesulitan dalam pembuktiannya
karena mengingat karakteristik dari cyber crime sebagaimana telah disebutkan di
atas yang terjadi secara nonfisik dan lintas negara.
Di Indonesia, carding dikategorikan sebagai kejahatan pencurian, yang dimana
pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam
pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
denda paling banyak sembilan ratus rupiah". Untuk menangani kasus
carding diterapkan Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana
pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik
karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card
generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah
dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin
mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang
yang melakukan transaksi.
Kemudian setelah lahirnya UU ITE, khusus kasus carding dapat dijerat dengan
menggunakan pasal 31 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang hacking. Karena dalam
salah satu langkah untuk mendapatkan nomor kartu kredit carder sering melakukan
hacking ke situs-situs resmi lembaga penyedia kartu kredit untuk menembus
sistem pengamannya dan mencuri nomor-nomor kartu tersebut.
Bunyi pasal 31 yang menerangkan tentang perbuatan yang dianggap melawan
hukum menurut UU ITE berupa illegal access:
Pasal 31 ayat 1: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronika dan atau
dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik secara
tertentu milik orang lain."
Pasal 31 ayat 2: "Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau transmisi elktronik dan atau dokumen elektronik
yang tidak bersidat publik dari, ke dan di dalam suatu komputer dan atau sistem
elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan,
penghilangan dan atau penghentian informasi elektronik dan atau dokumen
elektronik yang ditransmisikan.”.
Jadi sejauh ini kasus carding di Indonesia baru bisa diatasi dengan regulasi
lama yaitu pasal 362 dalam KUHP dan pasal 31 ayat 1 dan 2 dalam UU ITE.
Penanggulangan kasus carding memerlukan regulasi yang khusus mengatur tentang
kejahatan carding agar kasus-kasus seperti ini bisa berkurang dan bahkan tidak
ada lagi. Tetapi selain regulasi khusus juga harus didukung dengan pengamanan
sistem baik software maupun hardware, guidelines untuk pembuat kebijakan yang
berhubungan dengan computer-related crime dan dukungan dari lembaga khusus.
0 comments:
Post a Comment